Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2016

Bolehkah?

Bolehkah sebentar saja aku menjadi telapak tangan ayahmu, untuk memastikan suhu badanmu di dahimu? Bolehkah sebentar saja aku menjadi sehelai tisu, untuk menjaga aroma indra penciummu? Bolehkah sebentar saja aku menjadi handuk kecil yang sengaja ku panaskan, untuk pipi ronamu? Bolehkah sebentar saja aku menjadi udara yang menyentuh bibirmu sekejap waktu, untuk melegakan nafasmu? Ah, rasanya aku tidak ingin hanya menjadi debu-debu yang mengharu di sekelilingmu.

Doa para pendosa

Akankah terkabul doa para pendosa Yang khusuknya sulit terbentuk Yang sujudnya sering tak terwujud Yang dzikirnya mesti tersingkir Yang sholawatnya mudah terlewat Bismillah yang lupa Salam yang tak dalam Aamiin yang minim Lewat malam, caraku memeluk alam Dalam malu, ku ramu doa penuh haru

Karnaval diri sendiri

Gambar
Pada karnaval itu, ada seseorang yang berkanaval dengan  pikirannya sendiri, pesertanya pun dirinya sendiri. pakaian yang dikenakan adalah pakaian-pakaian pemberianmu. Tempat-tempat yang dilewati adalah rumah makan, gang-gang kecil, masjid, sekolah, dan tempat-tempat penuh kenangan lainnya. Garis finishnya adalah pintu rumah kamu. Tidak perlu berbagai alat musik, detak jantungnya sudah cukup membuat suasana berdentum kencang. Banyak kupon yang telah terjual, itupun oleh dirinya sendiri. Hadiah utama bukan motor atau alat elektronik pada umumnya. Hadiahnya sederhana, bertemu kamu. Tetapi pada akhirnya tidak ada yang mendapatkan hadiah utama. Barangkali panitia belum menyiapkan hadiahnya. Karena dirinya hanya bertindak sebagai peserta, bukan panitia.

Tentang senja

Aku tidak pernah tahu bagaimana itu senja. Saat dimana mereka mengeja puisi dengan manja. Aku tidak pernah tahu, Mungkin aku terlalu sibuk dengan meja-meja sekolah. Atau terlalu menjadi raja di kenyamananku. Namun setelah ketiadaanmu, sengaja ku cari keberadaan senja. Dan kini aku tahu, Setelah senja, hanya ada gelap yang merayap hingga senyap

Tentang buku, pena, kopi, dan waktu

Gambar
Aku adalah buku, yang pernah menjadi tempatmu mengadu, dan kini kau biarkan berdebu. Aku adalah pena, yang pernah menuliskanmu, hingga tanpa sadar telah tak kutemukanmu di dalamnya. Aku adalah kopi, dan kamu adalah penikmat, yang kini hanya tersisa pekat. Dan aku adalah waktu, di jam tanganmu, yang kini telah terlewat.

Apalah aku

Apalah aku, yang hanya berani menatap lamat Mungkin karena ucapku yang telah senyap Apalah aku, yang hanya berani melantunkan doa Mungkin karena cara itu yang lebih santun Apalah aku, yang hanya berani berpuisi Mungkin karena puisi takkan membuatku tersisih Apalah aku, dengan ketidakberdayaan keberagaman ini.

Hai

Gambar
Hai Kehidupan kita sungguh dipenuhi dengan panggilan. Berbagai macam panggilan dengan tanda dan makna yang tak sama. Suara adzan sebagai panggilan oleh pencipta atas diri kita. Bunyi lonceng sebagai panggilan siswa untuk kembali memulai pelajaran. Dering telpon, alarm, kentongan, hingga berakhir dengan terompet sangkakala. Begitupun dengan "hai". Tanda yang berarti panggilan, namun dengan berbagai macam makna yang tersirat. Cukup tiga huruf, yang mampu beranak pinak menjadi berbagai kata hingga cerita. Cukup singkat, tapi sanggup terjabar panjang tanpa kutup. Akan selalu ada panggilan di hidup ini, namun dengan kemerduan yang berbeda, dan cara menoleh yang tak sama.

Puisi Keluarga

Gambar
Mereka adalah tinta dari tiap serakan puisiku Mereka pula yang merapikan serakannya Lantas kamu? Kamu cukup menjadi puisiku Yang menjadi penyebab serakan itu